DaerahPemerintahan

Hanya Karena Rp 40 Juta, Pembangunan SMAN 11 Kota Tasikmalaya Terancam Mandek, Di Mana Peran Pemerintah?

366
×

Hanya Karena Rp 40 Juta, Pembangunan SMAN 11 Kota Tasikmalaya Terancam Mandek, Di Mana Peran Pemerintah?

Sebarkan artikel ini
banner 728x90

TASIKMALAYA, sidikkriminal.co.id – Di tengah semangat pembangunan nasional melalui program prioritas Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, sebuah inisiatif mulia masyarakat di Kota Tasikmalaya justru nyaris terhenti. Ironisnya, bukan karena kekurangan lahan atau dukungan, tetapi karena persoalan retribusi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp 40 juta. Sabtu, (31/05/2025).

Kecamatan Bungursari menjadi satu-satunya kecamatan di Kota Tasikmalaya yang belum memiliki sekolah menengah atas negeri. Impian masyarakat untuk mendirikan SMAN 11 Unggulan Bungursari kini terancam tertunda, hanya karena kendala administrasi yang seharusnya dapat diselesaikan dengan cepat.

Padahal, lokasi pembangunan sekolah telah masuk dalam skema nasional pembangunan 20 Unit Sekolah Baru (USB) oleh Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah (Siktasmen) Kementerian Pendidikan. Seluruh persyaratan administratif telah dipenuhi. Namun, prosesnya terhambat di tingkat daerah akibat belum dibayarnya BPHTB.

Masyarakat sudah bergerak, pemerintah masih diam.

Inisiatif ini digerakkan oleh tokoh masyarakat, H. Ade Hermawan, yang telah menghibahkan tanah pribadi seluas ±11.000 meter persegi lengkap dengan akses jalan. Sebanyak 7.000 m² akan digunakan untuk bangunan sekolah, sementara sisanya diperuntukkan bagi fasilitas umum.

“Saya tak mau hanya bicara. Saya hibahkan tanah ini demi masa depan anak-anak Bungursari. Sekarang tinggal pemerintah melanjutkan,” ujar Ade.

Namun niat baik ini justru terhambat karena biaya retribusi.

“Masyarakat sudah rela. Masa pemerintah justru memberatkan? Ini tanah untuk fasilitas publik, bukan komersial. Harusnya gratis, atau minimal dibantu,” tambahnya.

Satu-satunya hambatan saat ini adalah tagihan BPHTB sebesar ±Rp 40 juta. Meskipun terkesan kecil dibandingkan anggaran daerah, dampaknya sangat besar bagi ratusan calon siswa yang menanti kehadiran sekolah negeri di wilayah mereka.

“BPHTB ini bukan sekadar angka. Ini simbol: apakah pemerintah berpihak kepada rakyat atau tidak,” tegas Ade.

Pembangunan SMA ini merupakan bagian dari rencana besar pengembangan kawasan pendidikan dan kesehatan terpadu seluas ±20 hektare di bawah naungan Yayasan Pendidikan dan Amal Umat (YPAU). Area ini dirancang untuk mencakup SD, SMP, SMA, rumah sakit, hingga perguruan tinggi.

“Kami ingin Tasikmalaya punya ikon pendidikan dan kesehatan. Ini ladang amal, bukan bisnis. Pemerintah seharusnya mendukung penuh,” lanjutnya.

Sayangnya, birokrasi daerah dinilai menjadi penghalang utama. Bukan karena ketiadaan anggaran, tetapi karena prosedur yang lamban dan minim kepekaan terhadap kepentingan publik.

“Terlalu banyak meja, terlalu banyak alasan. Kalau begini terus, rakyat akan lelah berharap,” kritik Ade.

Ketua Baraya Kang Dedi Mulyadi (BKDM) Kota Tasikmalaya, Burhan, turut menyayangkan lemahnya respons dari pemerintah daerah.

“Ini bukan soal bangunan, ini soal masa depan anak-anak Bungursari. Jangan biarkan Rp 40 juta mengubur harapan mereka,” katanya.

BKDM menyatakan dukungan penuh kepada H. Ade Hermawan dan mendorong Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan, serta Kang Dedi Mulyadi, untuk segera mengambil tindakan nyata.

“Kami siap mengawal. Ini sejalan dengan visi Gubernur untuk membuka akses pendidikan yang merata. Jangan biarkan program nasional dikubur oleh birokrasi lokal,” tegas Burhan.

BKDM juga menyoroti masalah lain yang harus segera ditangani di Kota Tasikmalaya, seperti tambang ilegal, pengelolaan sampah, dan kerusakan infrastruktur.

“Kami ingin pemimpin seperti Kang Dedi: datang langsung, turun langsung, selesaikan langsung. Bukan yang hanya rapat tanpa hasil,” pungkasnya.

Ketika masyarakat telah bergerak dan tanah telah dihibahkan, seharusnya pemerintah hadir sebagai fasilitator, bukan penghambat. Jangan biarkan retribusi menjadi alasan berhentinya pembangunan yang sudah siap jalan.

Pendidikan bukan beban anggaran, melainkan investasi masa depan bangsa.

Jika Rp 40 juta menjadi penghalang, maka pertanyaannya bukan lagi ‘berapa biayanya’, tetapi ‘di mana nurani pemerintah?’

 

Ujang Tendra

banner 970x250
error: Content is protected !!