CIREBON, sidikkriminal.co.id – Sejumlah aktivis dan tokoh pergerakan di wilayah Cirebon Timur menyuarakan kekecewaan sekaligus kemarahan atas kualitas pembangunan infrastruktur yang dinilai dikerjakan secara asal-asalan. Salah satu tokoh pergerakan, Sudarto SH, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam apabila kejanggalan-kejanggalan dalam proyek tersebut terus dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Hal ini disampaikan pada Minggu (16/11/2025).
Sudarto menilai, berbagai anggaran yang diturunkan pemerintah pusat, provinsi, hingga daerah seharusnya dikelola secara profesional, transparan, dan sesuai mekanisme hukum.
Tujuannya jelas: menghadirkan pembangunan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, bukan justru merugikan mereka.
“Jangan main-main dengan anggaran negara. Kami mengecam keras kontraktor yang membangun secara asal-asalan di wilayah Cirebon Timur.
Jika tidak ada perbaikan dan penjelasan, kami siap melaporkan seluruh temuan kepada Kejaksaan Negeri Sumber, Kejati, Kejagung, hingga Mabes Polri,” tegas Sudarto.
Salah satu proyek yang kini menjadi sorotan tajam adalah pembangunan jembatan penghubung antara Kecamatan Pabedilan (Cirebon) dan Kabupaten Brebes, dengan nilai anggaran mencapai Rp13,8 miliar.
Ironisnya, jembatan yang diharapkan menjadi akses vital bagi masyarakat itu baru diresmikan sekitar tiga bulan lalu. Namun kini jembatan tersebut sudah ambruk dan tidak dapat difungsikan.
Runtuhnya jembatan bernilai miliaran rupiah dalam waktu yang begitu singkat menimbulkan tanda tanya besar.
Hal ini juga memicu dugaan kuat adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pembangunan.
“Harapan masyarakat itu sederhana: jembatan yang kokoh dan kuat sesuai besarnya anggaran. Tapi baru tiga bulan sudah ambruk. Dugaan kami sangat kuat bahwa ada penyalahgunaan anggaran oleh pihak kontraktor atau perusahaan pemenang tender,” tambah Sudarto.
Tiga aktivis Sudarto SH, A. Fauzan Tz SH MH, dan Qorib SH MH, menegaskan bahwa mereka akan segera membuat Laporan Polisi (LP) sebagai bentuk keseriusan menindaklanjuti dugaan penyimpangan proyek tersebut.
Langkah ini diambil untuk memberi efek jera kepada kontraktor yang dianggap tidak bertanggung jawab dan berpotensi merugikan keuangan negara serta masyarakat.
Kasus ambruknya jembatan ini menjadi tamparan keras bagi dunia konstruksi dan sistem pengawasan pembangunan di Cirebon Timur. Publik kini wajar mempertanyakan:
Bagaimana proses teknis pembangunan dilakukan,
siapa saja pihak yang bertanggung jawab dalam pengawasan,
apakah penggunaan material dan metode konstruksi telah sesuai standar.
Pembangunan yang seharusnya menjadi solusi justru berubah menjadi beban baru bagi masyarakat.
Keruntuhan jembatan bukan hanya merusak aset negara, tetapi juga menghambat aktivitas harian, merugikan perekonomian warga, sekaligus mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah maupun kontraktor.
Dalam konteks pengelolaan anggaran daerah, setiap rupiah adalah uang rakyat. Karena itu, kualitas pembangunan harus menjadi prioritas utama.
Bila proyek bernilai besar gagal hanya dalam hitungan bulan, besar kemungkinan terdapat persoalan serius, mulai dari lemahnya pengawasan hingga dugaan praktik korupsi.
Para aktivis Cirebon Timur menegaskan bahwa kritik yang mereka sampaikan merupakan bagian dari kepedulian terhadap kondisi masyarakat.
Jika dugaan pelanggaran terbukti, maka jalur hukum bukan hanya tindakan reaktif, tetapi juga bentuk kontrol sosial agar seluruh pihak, mulai dari kontraktor, pejabat pengawas, hingga pelaksana teknis—tidak sembarangan menggunakan anggaran negara.
(Red)













