KOTA CIREBON, sidikkriminal.co.id – Kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) Kota Cirebon terus menuai sorotan publik. Setelah Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon menetapkan enam orang sebagai tersangka, Ketua AMX Indonesia Cirebon Raya, Mohamad Hayat, angkat bicara dan mendesak agar penegak hukum mengusut tuntas kasus yang merugikan negara hingga puluhan miliar rupiah tersebut.
“Kami mendukung penuh langkah Kejari Kota Cirebon dalam mengungkap kasus ini. Namun, jangan hanya berhenti pada enam orang tersangka. Kami mendorong agar seluruh pihak yang diduga terlibat, termasuk aktor intelektual di balik proyek ini, juga diproses hukum,” tegas Hayat saat ditemui di sekretariat AMX, Kamis (28/8/2025).
Menurutnya, korupsi dalam proyek strategis daerah seperti pembangunan Gedung Setda merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Apalagi, proyek multiyears yang dilaksanakan selama tiga tahun anggaran, yakni 2016–2018, seharusnya menjadi simbol transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah.
“Ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga masalah moral dan kepercayaan publik. Gedung Setda adalah wajah pemerintahan Kota Cirebon. Jika dibangun dengan praktik curang, bagaimana masyarakat bisa percaya pada pemimpinnya?” ujarnya.
Hayat juga mendesak agar aparat penegak hukum menyelidiki kemungkinan keterlibatan pihak lain di luar enam tersangka yang telah ditetapkan.
“Kami akan terus mengawal kasus ini, termasuk dengan melakukan aksi damai jika proses hukum terkesan mandek,” imbuhnya.
Seperti diketahui, Kejari Kota Cirebon menetapkan enam tersangka, masing-masing PH (59), IW (58), BR (67), AS (52), HM (62), dan FR (53), setelah ditemukan bukti kuat adanya penyimpangan dalam pelaksanaan proyek. Hasil audit BPK RI menunjukkan kerugian negara mencapai Rp26,52 miliar, dan penyidik menyita uang tunai Rp788 juta sebagai barang bukti.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Secara subsider, mereka disangkakan Pasal 3 undang-undang yang sama.
(Dadang)